“Pendidikan IPS”
A.
Pendahuluan
Dalam
Book Report ini, penulis melaporkan dan menganalisa buku yang berjudul
“Pendidikan IPS”. Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. Buku
Pendidikan IPS ini diterbitkan pada bulan September 2016 (cetakan kedua).
Ukuran buku ini adalah 14,8 cm x 21 cm dan berisi 15 sub bab. Buku ini terdiri
dari 393 halaman yang diterbitkan oleh Mediakom Indonesia Press Bali, di Jalan
Wijaya Kusuma V/5 Singaraja Bali, dengan telepon (0362) 7027512/081236795588,
serta alamat e-mail: tpimediakom@gmail.com
Hak
cipta buku ini juga dilindungi Undang-Undang untuk menanggulangi pembajakan
atau penjualan ilegal sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun
secara elektronikmaupun mekanis tanpa izin tertulis dari penerbit.
B.
Uraian Singkat
1.
Bab I “Kebijakan Kurikulum IPS”
Pada
bab I ini, dijelaskan bahwa perubahan dan perkembangan zaman menimbulkan
persoalan sosial pada diri manusia. Untuk mengatasi permasalahan sosial yang
semakin kompleks tersebut, tidak cukup dengan pendekatan keilmuan tunggal,
melainkan dengan pendekatan keilmuan secara mulidisipliner. Penyiapan generasi
muda yang berkarakter dan memiliki kepekaan sosial sangat diperlukan. Dalam
upaya mewujudkan hapan itu, sekolah mengadakan pembinaan tentang
masalah-masalah sosial melalui program social
studies.
Di
dalam bab ini juga membahas mengenai hal-hal yang perlu dicermati dalam
pelaksanaan kurikulum tahun 2006 (KTSP). Ada 8 upaya yang perlu dicermati dalam
pelaksanaan standar isi IPS yaitu Sosialisasi Kurikulum, Dokumen, Penyusunan
Program Silabus dan RPP, Struktur Program, Strategi Pembelajaran, Penilaian,
Sarana Pembelajaran, dan Kulaifikasi Guru. Juga dijelaskan ada beberapa
landasan filosofis pengembangan kurikulum IPS yaitu essensialisme,
perenialisme, progresivisme, dan rekontruktivisme. Untuk melihat perkembangan
psikologi siswa ada 2 teori yang disebutkan, yakni Teori Piaget (proses
perubahan skema terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi) dan Teori
Bruner (ada tiga tahapan berpikir yaitu enactive,
iconic, dan symbolic).
2.
Bab II “Sejarah Dan Kawasan Pendidikan IPS”
Pada
bab II ini, dijelaskan bahwa untuk pertama kalinya di Rugby (Inggris) IPS
dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah pada tahun 1827 dengan nama “social studies” yang kemudian berkembang
di Indonesia seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan baik pada tingkatan
dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Selain itu dijelaskan pula mengenai
Kawasan Pendidikan IPS, yang menyatakan bahwa IPS merupakan penyederhanaan dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk
tujuan pendidikan (Somantri, 2001:92). Di dalam kurikulum standar NCSS untuk
tingkat sekolah kelas 1 s/d 12 dinyatakan bahwa ruang lingkup kurikulum IPS
meliputi 10 pokok tema (Culture; Time,
continuity, and change; People, places, and environment; Individual,
development, and identity; Individual, groups, and institution; Power,
outhority, and governance; Production, distribution, and consumtion; Science,
technology and society; Global connections; Civic ideals and practices).
Sedangkan di Perguruan Tinggi terdapat 7 pokok tema yaitu Pendidikan IPS
Terpadu, Pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Sejarah,
Pendidikan Sosiologi-Antroplologi, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Pada
bab ini juga dijelaskan mengenai karakteristik Pendidikan IPS yang meliputi 3
rincian yaitu: a) Pendidikan IPS mempunyai tujuan utama untuk membentuk warga negara
yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang demokratis. b) IPS
membantu siswa dalam mengkonruksi pengetahuan akademik sebagai suatu pengalaman
khusus. c) IPS mencerminkan perubahan pengetahuan, mengembangkan sesuatu yang
baru dan menggunakan pendekatan terintergrasi untuk memecahkan isu secara
manusiawi. Beberapa istilah terkait IPS yaitu Social sciences, Social education, dan Social science education. Disebutkan pula bahwa tujuan utama
pendidikan IPS adalah mempersiapkan siswa sebagai warga negara agar dapat
mengambil keputusan secara reflektif.
3.
Bab III “IPS Sebagai Kegiatan Keilmuan”
Pada
bab III ini, dijelaskan tentang bagaimana pentingnya IPS sebagai suatu kegiatan
keilmuan. Dimana di dalamnya dibahas mengenai kesalahpahaman dari masyarakat
yang menyatakan bahwa sekolah merupakan tempat untuk merekontruksi sikap serta
perilaku masyarakat. Sekolah bertugas melakukan pendidikan keilmuan, dalam arti
mendidikkan sikap ilmiah sekaligus mengajarkan ilmu pengetahuan. Juga
dijelaskan sejarah perkembangan ilmu-ilmu Pendidikan IPS di Amerika Serikat,
mulai dari lahirnya Amerika Serikat hingga tumbuh dan berkembangnya Pendidikan
IPS di lembaga-lembaga pendidikan Amerika Serikat. Selain perkembangan IPS di
Amerika Serikat, bab ini juga memaparkan perkembangan IPS di Indonesia, yaitu
dari hadirnya manusia purba (Homo Wajakensis) sebagai asal-usul mula lahirnya
kebudayaan di Indonesia dan terus berkembang. Dimana perkembangannya itu masih
ada keterkaitan dengan Amerika Serikat, itu terbukti dengan adanya perbandingan
sistem pembelajaran antara Indonesia dan Amerika Serikat. Seperti selama 70-80
tahunan (sejak lahirnya IPS 1916) di Amerika Serikat telah berkembang 4 jenis
IPS yaitu IPS gaya lama, IPS progresivisme, social
science education, dan IPS gaya baru. Sedangkan selama 40 tahun pasca
kemerdekaan, sekolah-sekolah di Indonesia baru melaksanakan jenis IPS gaya lama
dan IPS progresivisme.
4.
Bab IV “Pendidikan IPS: Isu Dan Harapan”
Secara
garis besar, bab IV ini mengulas tentang Pendidikan IPS dalam melakukan
perubahan pada masyarakat. Dalam ulasan ini ada rasional pembahasan dan tawaran
konsep-aplikatif yang lebih banyak dimaksudkan kepada mereka yang meyakini
keberbedaan hak dari setiap individu serta kemampuan personal yang holistik.
Filosofi pada buku ini bahwa kurikulum harus relevan dengan keinginan, hidup,
dan kebutuhan peserta didik secara alamiah. Sebagai seorang pembelajar harus
membelajarkan siswanya menjadi pemimpin dunia di masa mendatang melalui
pembelajaran IPS. Sebagai sebuah laboratorium pendidikan warga negara, IPS
selayaknya menekankan pada cara-cara membelajarkan pebelajar untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang demokratis.
Pada
bab ini juga diulas bahwa ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan
dalam pembelajaran IPS yaitu the
disclipinary model, the multydisclipinary model, cityzenship education, the
problem inquiry model, dan the
humanistic model.
5.
Bab V “Tujuan Dan Tradisi Pembelajaran IPS”
Dalam
bab V ini dibahas mengenai tujuan dan tradisi pembelajaran IPS. Dimana
pendidikan IPS merupakan padanan dari Social
Studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Untuk skala Indonesia,
tujuan IPS adalah agar peserta didik mampu mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari (Depdikbud,
1994:93). Pola pembelajaran IPS di SD hendaknya lebih menekankan pada unsur
pendidikan dan pembekalan pemahaman, nilai-moral, dan keterampilan-keterampilan
sosial pada siswa.
Dikaitkan
dengan pengembangan berpikir rasional, dalam kegiatan intruskional, dikenal
pula beberapa model pembelajaran IPS yang lebih menekankan pada pengembangan
dan peningkatan kemampuan berpikir ilmiah dan kreatif sebagaimana layaknya
ilmuwan sosial. Di dalam tradisi pembelajaran IPS di Indonesia, ada beberapa
model pendekatan pengorganisasian materi yang dikenal seperti pendekatan
integrasi pada jenjang sekolah dasar, pendekatan korelasi pada jenjang SLTP,
dan pendekatan sparated pada jenjang
SMU. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model yang
dikembangkan dan diteliti oleh para pakar berkaitan dengan pengembangan
intelektual dan peningkatan perolehan belajar peserta didik dalam pembelajaran
IPS. Namun, belum banyak yang menyentuh bagaimana upaya meningkatkan literasi
sosial-teknologi peserta didik dalam pembelajaran IPS. untuk itu, perlu
dilakukan penelitian untuk memfokuskan pada upaya pengembangan model belajar
yang dapat memfasilitasi perkembangan dan literasi sosial-teknologi, pemahaman
materi, dan keterampilan sosial peserta didik dalam pembelajaran IPS.
6.
Bab VI “Kompetensi Pendidikan IPS”
Dalam
bab VI ini, dipaparkan bahwa lahirnya kompetensi sejalan dengan terjadinya
perubahan sosial budaya dari masyarakat dan budaya agraris ke masyarakat dan
budaya industri atau teknologi. Kompetensi-kompetensi dasar IPS SD yang
dirumuskan pada bab ini mencakup tiga dimensi pengembangan, yaitu (1)
kompetensi-kompetensi personal, (2) kompetensi-kompetensi sosial, dan (3) kompetensi-kompetensi
intelektual.
Untuk
membangun kompetensi personal siswa, ada beberapa sub-kompetensi yang harus
diakomodir dan dikembangkan yaitu kompetensi sikap obyektif terhadap diri
sendiri, kompetensi aktualisasi diri, kompetensi kreativitas diri, kompetensi
penghayatan nilai dan sikap keberagaman. Sedangkan pada kompetensi sosial, ada
sejumlah kompetensi dasar sosial yang perlu dimiliki dan dikuasai oleh siswa SD
sebagai makhluk sosio-kultural adalah kompetensi dan kesadaran atas tata krama,
kompetensi berkomunikasi, kompetensi interaksi sosial, kompetensi bekerjasama,
kompetensi sikap prososial atau altruism, kompetensi partisipasi sosial, dan
kompetensi kesadaran terhadap keberbedaan. Dan kompetensi-kompetensi
intelektual yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa SD adalah
kemampuan berpikir kritis reflektif, kompetensi berpikir kontekstual,
kompetensi berpikir pragmatis, keterampilan geografis, pemahaman dan kesadaran
tentang waktu, logika, serta pemahaman kesejarahan.
7.
Bab VII “Pola Pengorganisasian Materi Pendidikan IPS”
Pada
bab VII ini dibahas mengenai pola pengorganisasian materi pendidikan IPS.
Dilihat dari perspektif siswa, kelemahan utama kurikulum esensialistik terletak
pada pandangan bahwa siswa hanya diperankan sebagai passive recivient terhadap realitas dan kebenaran yang secara
ontologis berada di luar dirinya.implikasi dari kondisi tersebut adalah
pembelajaran IPS kurang diminati siswa. Dalam bab ini juga dibahas konteks
rekontruksi pola organisasi materi IPS sekolah dasar berdasarkan perspektif
kontruktivisme personal, interpersonal, dan sosiologi mencakup: 1) konteks
personal siswa, 2) konteks interpersonal/sosiokultural siswa, serta 3) konteks
sosial, kultural, dan historikal masyarakat.
Diulas
juga bahwa pola perkembangan organisasi menurut Piaget mengikuti prinsip
sirkularitas atau siklus berjenjang sejalan dengan tahapan perkembangan
personal siswa, atau menurut Vygotsky mengikuti prinsip saling kerjasama,
saling mendukung, dan saling memediasi di antara fungsi-fungsi psikologis
melalui mekanisme internal atau intra-psikologis (kontruktivisme personal),
mekanisme interpersonal, interpsikologis, dan melalui mekanisme eksternal atau
sosiologis. Secara paragdimatik, isi kurikulum IPS SD dipandang memiliki sebuah
pola organisasi dan struktur, apabila tercipta dalam bentuk sebuah relasi
sistemik yang saling berkaitan penuh makna diantara satu bagian materi dengan
bagian materi yang lain, hingga membangun sebuah totalitas atau kesatuan bidang
materi. Kurikulum sebagai pola pengaturan pengalaman belajar bermakna harus
memberikan peluang besar kepada siswa untuk melakukan aktivitas
pengorganisasian diri dan pengaturan diri.
Berdasarkan
kajian dan temuan empiris, simpulan yang dapat dibuat bahwa ada dua kontribusi
penting pemikiran Vygotsky yang bisa digunakan sebagai pijakan dalam
rekontruksi struktur isi kurikulum IPS Sekolah Dasar, yaitu 1) bahwa hakekat
struktur isi kurikulum adalah sosiokultural, 2) bahwa struktur isi kurikulum
harus menjadi sebagai alat-alat psikologis yang mampu memediasi dan
menjembatani kemungkinan bekerjanya fungsi-fungsi psikologis yang terdapat pada
diri siswa. Pertimbangan utama rekontruksi struktur isi kurikulum IPS SD tetap
ditekankan pada tingkat keterkaitan dengan struktur substantif, sintaktik, dan
normatif yang sudah siswa miliki.
8.
Bab VIII “Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran IPS”
Pada
bab ini, dibahas tentang berpikir kritis dalam pembelajaran IPS. intelegensi
dan kemampuan berpikir memiliki hubungan kausalitas level tinggi, sehingga
semakin tinggi kemampuan berpikir seseorang, makin tinggi pula intelegensi
orang tersebut. Pembelajaran IPS senantiasa mengandung kegiatan berpikir, namun
apabila tidak diprogramkan secara khusus, proses pendidikan berpikir itu akan berdampak
pada rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga tidak memadai
untuk melatih seseorang mengembangkan kemampuan berpikirnya secara optimal.
Pengembangan iklim sekolah dan kelas yang menyenangkan akan menggugah
kreativitas siswa dalam berpikir. Pembelajaran berpikir kreatif akan
mengkondisikan siswa untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut
masa depan.
Untuk
meningkatkan kemampuan berpikir, kalangan pembelajar dapat menggunakan kemajuan
teknologi, seperti penggunaan komputer, jaringan telekomunikasi terpadu. Dengan
fasilitas ini, pebelajar akan dapat mengasah dan meningkatkan kemahiran dan
kelincahan intelektualnya selama proses pembelajaran berlangsung. Kemajuan
teknologi bukan semata-mata untuk memudahkan guru dalam mengajar. Kalangan
pembelajar dituntut untuk peka dan atisipatif terhadap perkembangan teknologi,
mengingat social studies merupakan disiplin ilmu yang merasuk dalam setiap hati
nurani masyarakat, yang mana prinsip-prinsipnya merupakan keseharian masyarakat
itu sendiri. Mengingat perkembangan masyarakat global yang sangat dinamis, yang
menuntut kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, ada banyak metode
pembelajaran yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan keterampilan siswa
dalam berkomunikasi, salah satunya yaitu diskusi kelompok.
Dalam
bab ini juga diulas bahwa melalui asesmen pembelajar dapat menilai potensi diri
dan tingkat keberhasilan belajar siswa berdasarkan perkembangan belajar siswa
dalam setiap pembelajaran.
9.
Bab IX “Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran IPS”
Dalam
sub bab ini, dijelaskan tentang pendidikan nilai sebagai sebuah proses
transaksional yang melibatkan seperangkat piranti sosial budaya dan ideologi
kebangsaan dirasakan semakin penting dalam memasuki era globalisasi saat ini.Realitas
di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran afektif dalam IPS telah diredusir ke
arah transformasi pengetahuan dalam bentuk gifted. Implikasinya, pendidikan
nilai direduksi menjadi pengajaran nilai yang gersang dari nilai itu sendiri.
Pada
bab ini juga, Lasmawan (2006) yang
menyatakan bahwa pembelajaran pendidikan IPS pada jenjang sekolah menengah
bersifat integrated, sehingga materi yang dibelajarkan dalam pendidikan IPS
merupakan akumulasi dari sejumlah disiplin ilmu sosial. Acuan pengembangan
model pendidikan nilai yang selama ini diaplikasikan dalam pendidikan IPS lebih
cenderung menekankan pada pemahaman materi dan cenderung mengabaikan aspek
nilainya.
10.
Bab X “Pendidikan Multikultur Dalam Pembelajaran IPS”
Dalam
bab X ini, dibahas mengenai pendidikan multikultur dalam pembelajaran IPS.
seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam kebudayaan.
Multikulturalisme merupakan paham yang mengakui perbedaan dan keberagaman dalam
suatu bingkai kebersamaan dan kesederajatan. Demokrasi merupakan salah satu
komponen yang menjamin bangunan multikulturalisme.dari semua itu, salah satu
media yang bermakna bagi pengembangan kesadaran akan multikulturalisme adalah
pendidikan IPS. Melalui pendidikan multikultur yang terintegrasi secara
holistik dalam mata pelajaran, dapat meningkatkan pemahaman dan pelatihan
keterampilan hidup dalam keberagaman kepada peserta didik, sehingga pada
saatnya nanti mereka mampu melakoni kehidupan bermasyarakat yang multikultur
dalam wadah negara kesatuan.
Menurut
Banks (1995) terdapat 5 model pendidikan multikultur yang berkembang yaitu
cultural difference, human relation, single group studies, reformasi
pendidikan, dan rekontruksi sosial. Selain itu juga terdapat 6 konsep umum
pengembangan pendidikan multikultur yaitu right to culture, kebudayaan
Indonesia yang holistik, konsep pendidikan multikultur normatif, rekontruksi
sosial, pendidikan multikultur di Indonesia memerlukan pedagogik baru, dan
pendidikan multikultur bertujuan untuk mewujudkan visi kebangsaan di masa depan
serta etika bangsa.pada bab ini juga menjelaskan tujuan dari pendidikan
multikultur menurut Rahardjo (2005) adalah 1) meningkatkan konsep dan pemahaman
diri, 2) meningkatkan sensitivitas terhadap orang lain dan masyarakat bangsa
lain, 3) meningkatkan pemahaman terhadap keberagaman, 4) meningkatkan kemampuan
mengambil keputusan berdasarkan analisis dan sistesis, 5) berpikir terbuka, 6)
meningkatkan pemahaman terhadap sejarah bangsa, 7) meningkatkan nasionalisme
dan pengahargaan terhadap bangsa lain. Dan juga ada beberapa model mengajar
yang visibel untuk dikembangkan dalam pendidikan multikultur yaitu Modelling, Trials and errors atau Laisez
fair, Values clarification technique, Conflict resolution.Sementara itu
Jannes (2011) menyatakan bahwa fokus pendidikan multikultur dapat diarahkan
pada 1) pembentukan karakter multikulturalisme siswa through daily activities,
2) pelatihan hidup bersama dalam keberagaman melalui sosiodrama and social
fragmentation, 3) pembentukan jiwa tanggungjawab dan ketertanggapan sosial
dengan proyek kelas dan public study,
4) pelatihan keterampilan sosial dan moral sosial melalui pengembangan sistem
kerja kooperatif dan learning by action, 5) pengembangan jiwa dan keterampilan
bertoleransi dan berdemokrasi melalui class discusion and social action.
11.
Bab XI “Model Belajar Kooperatif”
Bab
ini membahas tentang model pembelajaran cooperative learning adalah salah satu
model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran. Dikemukakan
juga ada 6 keuntungan yang diperoleh baik oleh guru maupun siswa di dalam
pelaksanaan pembelajaran menggunakan model cooperative learning. Pengaturan
kelas yang baik merupakan langkah pertama yang efektif untuk mengatur
pengalaman belajar siswa secara keseluruhan. Dalam pengelolaan kelas model
cooperative learning ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni
pengelompokan, pemberian motivasi kepada kelompok, dan penataan ruang kelas.
Dalam model pembelajaran cooperative learning ini ada 3 teori yang mendukungnya
diantaranya teori rekontruksi sosial Vygotsky, teori pembelajaran Piaget, teori
pembelajaran Ausubel. Disini juga diberikan beberapa catatan kepada
penyelanggara pendidikan, antara lain bagi guru, kepala sekolah, dan pengambil
kebijakan. Dan pada setiap akhir bahasan diberikan satu contoh model
pembelajaran cooperative yaitu model STAD yang bertujuan mendorong siswa
berdiskusi, saling membantu menyelesaikan tugas, menguasai dan pada akhirnya
menerapkan keterampilan yang diberikan. Pendekatan STAD ada 5 langkah yaitu
persiapan, penyajian materi, tahap kerja kelompok, tahap tes individu, dan
tahap pengahargaan.
12.
Bab XII “Model Pemecahan Masalah Dalam Konteks
Pembelajaran”
Pada
bab ini dijelaskan bahwa ada 4 prinsip dasar kontruktivisme mengenai
pengetahuan yaitu pengetahuan terdiri atas kontruksi-kontruksi masa silam,
pengkontruksian pengetahuan terjadi melalui asimilasi dan akomodasi, belajar
merupakan suatu proses organik dari penemuan yang lebih dari pada hanya sekedar
proses mekanik akumulasi, belajar bermakna terjadi melalui proses refleksi dan
resolusi konflik. Disebutkan juga ciri-ciri
proses aktif siswa dalam mengkontruksi pengetahuan. Selanjutnya ada pula
gaya kognitif dalam pembelajaran yang merupakan karakteristik individu dalam
merasakan, mengingat, berpikir, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Lasmawan (2004) memaparkan 5 tahapan strategi pemecahan masalah yang dapat
ditempuh dalam rangka memecahkan permasalahan yang dihadapi, yaitu visualisasi
masalah, mendeskripsikan masalah-masalah atau konsep, merencanakan solusi,
menyelesaikan rencana, mengecek dan mengkaji solusi. Gaya kognitif dalam
pembelajaran dibedakan menjadi 2 yaitu gaya kognitif field independent dan gaya
kognitif field dependent.
13.
Bab XIII “Memperkuat Nilai Pendidikan IPS Melalui
Integrated Knowledge System”
Pada bab XIII ini dibahas
tentang cara untuk memperkuat nilai IPS melalui sistem pengetahuan yang
terintegrasi. Dikatakan bahwa pendidikan IPS (PIPS) harus mampu memerankan
dirinya sebagai media pembangunan dan pembentukanpeserta didik sebagai warga
Negara yang baik dan berkualitas. Kemudian dibahas pula mengenai konsepsi
antara pendidikanIPS dimana IPS tersebut
dikatakan terdiri dari dua konsepsi antara lain, konsepsi ilmu dan pendidikan
IPS, untuk dapat mengetahui konsepsi tersebut, dalam buku ini telah dibedah
secara baik agar dapat dimengerti dengan baik.Sehingga didapatkan ada lima poin
yang perlu mendapat perhatian,antara lain pendidikan sebagai 1) usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik, 2) kegiatan bimbingan, 3) kegiatan pengajaran,
4) kegiatan pelatihan dan, 5) peran peserta didik. Selanjutnya dibahas mengenai
pendidikan IPS, disiplin ilmu-ilmu sosial, dan kemajuan IPTEK. Kemajuan IPTEK
yang telah yang menghadirkan warna terdiri dalam esensi PIPS sebagai disiplin
keilmuan.
14.
Bab XIV “Inovasi Pembelajaran IPS”
Pada
bab ini dibahas mengenai inovasi dalam konteks keharusan. Dimana inovasi
pendidikan akan sangat baik jika dilakukan oleh ujung tombak keberhasilan
pendidikan itu sendiri, yaitu guru. Bab ini juga menjelaskan bahwa seorang guru
harus mampu melakukan berbagai variasi pembelajaran, sesuai dengan
karakteristik, materi, kebutuhan belajar peserta didik, lingkungan belajar, dan
target pencapaian dari pembelajaran itu sendiri, dan untuk mencapai hal
tersebut salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh seorang
guru adalah kompetensi inovatif. Pentingnya sebuah inovasi dalam pembelajaran,
permasalahan yang akan timbul jika tidak dilakukan inovasi pembelajaran.
15.
Bab XV “Pembelajaran IPS Dan Pembangunan SDM Prima”
Pada
sub bab terakhir ini dijelaskan bahwa disajikan rasional pentingnya belajar dan
menuntut ilmu pengetahuan sesuai dengan tujuan yang termuat dalam konstitusi
negara Indonesia. Juga diulas mengenai sistem pendidikan, dimana sistem
pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan aspek-aspek religio mental
yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan dan nilai budaya bangsa. Dalam rangka
mengoptimalkan konsepsi sistem pendidikan nasional, kran partisipasi masyarakat
harus dibuka lebar mulai dari penyusunan kurikulum hingga pelaksanaan
pembelajaran di masing-masing jenjang sekolah. Setelah adanya konsep, tentu
akan ada aplikasinya. Disini dijelaskan, dalam aplikasinya sistem pendidikan
nasional kurang berhasil, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu aspek
akademik, aspek religio mental dan aspek ketenagakerjaan.
C.
Komentar
Berdasarkan penjelasan
singkat dari setiap sub bab mengenai buku Pendidikan IPS, penulis memberikan
beberapa komentar, diantaranya:
1)
Secara
teoritis, isi buku ini dapat dipahami dengan baik karena penyusunan katanya
yang cukup jelas dalam menyampaikan suatu gagasan atau ide.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar